Selasa, 25 Juli 2017

inilah Kidung Rumekso Ing Wengi, Mantra Karya Sunan Kalijaga

inilah Kidung Rumekso Ing Wengi, Mantra Karya Sunan Kalijaga  Kadilangu terdapat tidak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Bila Anda datang dari arah Semarang, sebelumnya hingga di Demak dapat singgah ke Kadilangu dulu. Udara umumnya panas, namun beberapa orang yang mengalir tanpa ada putus berwajah demikian tulus – serta ketulusan tersebut yang berikan perasaan damai. Memanglah, disanalah terdapat makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa : Bongkar Histori atas Peran Tionghoa dalam Penebaran Agama Islam di Nusantara Era XV & XVI (2003) dijelaskan jadi “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yaitu makam Sunan Kalijaga. 
inilah Kidung Rumekso Ing Wengi, Mantra Karya Sunan Kalijaga



Nama ini terdengar demikian akrab, namun lebih akrab sekali lagi yaitu karya-karyanya jadi pendakwah kreatif, yang seringkali digunakan tanpa ada diakui sekali lagi jadi gubahan Sunan Kalijaga. Seperti berlangsung dengan kidung Rumeksa Ing Wengi, yang selain berperan jadi kidung tolak bala, bila dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali. Cermati :

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
Terjemahan :
Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.


Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Satu penjelasan dalam buku best seller yang ditulis seseorang sarjana agronomi, Mistik serta Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat sudah mendatangkan arti kidung yang dapat juga bermakna sabda atau firman, jadi tehnik menghidupkan konsentrasi serta kemampuan fikiran. Menurut Chodjim, kalimat yang teratur rapi didalam satu doa, sesungguhnya untuk jadi titik perhatian serta maksud dari pelafal doa. Titik perhatian berikut yang juga akan menghidupkan konsentrasi serta dengan itu menjelmakan kemampuan fikiran. 

Merujuk pada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics : Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim menuturkan kalau kemampuan fikiran bisa hasilkan satu medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang bisa berhubungan dengan serta merubah medan gravitasi yang mengatur materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga jadi penolak bala kejahatan yang dikerjakan malam hari. Dari mulai kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, hingga yang dimaksud gaib seperti sihir, teluh, santet, yang pastinya diakui keberadaannya pada saat kehidupan Sunan Kalijaga. 

Chodjim mengemukakan cerita riil, kalau kidung ini masih tetap berperan di desa pada saat saat ini untuk keperluan praktis, umpamanya mengusir hama tikus. Diceritakan kalau pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur serta buka larut malam, lantas kidung Rumeksa ing Wengi ini di baca sembari melingkari pematang sawah atau ladang. Akhirnya, tikus betul-betul tidak datang ke sawah itu. Cermati, bukanlah tikus mati di mana-mana, tetapi sebatas tidak datang. Menurut Chodjim, doa memanglah bukan untuk mengakibatkan kerusakan, namun melindungi serasi alam. Dijelaskan dengan tegas jadi doa, bukanlah sihir atau mantra negatif – serta yang dimaksud doa dengan benar-benar mempunyai kesakralan serta kesucian. 

Mengenai hubungan kenyataan atas kidung Rumeksa ing Wengi serta reputasi Sunan Kalijaga jadi pendakwah, agama Islam dikenalkan Sunan Kalijaga tidak jadi normalitas yang kaku. Dalam pembicaraan bait-bait setelah itu dari kidung itu yang sangat panjang diambil disini, Chodjim mengutamakan begitu Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya kepercayaan dalam beragama dari pada hafalan atas doa-doa tersebut, serta karna orang Jawa era XV tidak gampang mengatakan terlebih mengerti bhs Arab, dalam mengenalkan orang Jawa pada keindahan serta kebesaran beragama, Sunan Kalijaga merujuk alam fikiran Jawa masa itu. 

Dalam disertasi yang ditulis seseorang pemuda 29 th. pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme serta Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, dijelaskan kalau diantara beberapa wali, ajaran Sunan Kalijaga yaitu “yang paling original. ” Pemuda itu, P. J. Zoetmulder, yang nantinya populer jadi mahapakar Jawa Kuno, ambil kesimpulannya diantaranya sesudah mengecek Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang diisi ajaran-ajaran beberapa tokoh yang dengan dengan dikatakan sebagai Walisanga, beberapa pendakwah yang menebarkan Islam di tanah Jawa pada era XV. 

Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, serta kenapa orisinalitas mesti dipandang perlu? Rupa-rupanya, dalam penebaran agama Islam, kecenderungan Sunan Kalijaga untuk perduli pada konteks lokal ditempat ia berdakwah begitu dimaknai hingga hari ini. Tetapi sebelumnya hingga kesana, mungkin saja baik kita ikuti kembali “sastra lisan” mengenai sistem kewalian Sunan Kalijaga, yang janganlah di cari kefaktaannya tetapi arti yang ada dibalik cerita itu. Historiografi Jawa susah di baca seperti membaca buku histori modern -karena itu mesti senantiasa di terima jadi materi untuk ditafsirkan kembali.

Episode brandal

Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan “penghubungan” dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak -seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.

Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sehingga ia bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.

Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas -tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar “ilmu-ilmu“.

Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak. Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dari ketafakurannya selama bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan Kalijaga.

Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884, dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada 1993. Dalam “suluk linglung” itu juga dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.

Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur, sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga : yakni bahwa selalu ada segi-segi “kebadungan” dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti terlihat dari perdebatannya dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama.

Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong, bayangbayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa. Bukankah pertanyaan sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun sekarang.

Saka Tatal & Jung Cina

Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian mendirikan salah satu dari empat tiang utama Mesjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal – dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi. Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.

Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan dengan tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut : Apakah Sunan Kalijaga memintabantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa; apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif dan menghayati hadits “tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, telah mempelajari teknik itu dari orang-orang Tionghoa; dan yang paling rawan adalah, apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?

Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti, antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.

Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang “terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan, tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir: “Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah “tokoh khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat “agak susah” untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: “Kalaupun Gan Si Cang adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membangun mesjid.”

Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran“, bahkan kadang disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam pusat” di Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di manapun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti penyerahan diri.

Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir. “Sunan Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya, sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka’bah Mekah, dan pada saat yang sama Ka’bah pun menurut bersepakat dengan Mesjid Demak. Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:

Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk / Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna segaris tiada melenceng.

“Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid Demak sebagai pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap “keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.”

Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga : kreatif dan merdeka.

Lir-ilir, lir-ilir

Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam “rumah” kokoh dengan ukiran Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota. Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.

Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting – tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan keagamaan yang serius :

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!

loading...

Related Posts

inilah Kidung Rumekso Ing Wengi, Mantra Karya Sunan Kalijaga
4/ 5
Oleh

Mbh jenglot tidak pernah mematok Mahar , Harga atau Uang kalau ingin belajar ilmu hikmah ataupun membutuhkan bantuan mbh jenglot
Hanya sumbangsih Rejeki anda seiklasnya menjadi barokah bagi mbh jenglot.Untuk Konsultasi dan Pemesanan Hubungi Langsung dengan No HpPastikan Anda Mendapatkan Layanan Yang Tepat Bersama Kami Tinggal Hubungi saja Kami akan Selalu siap Melayani Dengan Setulus Hati.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.